Dalam Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) Kabupaten Wonosobo (2023) hal 129, dijelaskan mengenai latar belakang budaya Wonosobo dimana sejauh ini, kebudayaan di Kabupaten Wonosobo memiliki corak utama yang dominan pada seni pertunjukan, yaitu Tari Topeng Lengger. Hampir seluruh desa/ kelurahan di Kabupaten Wonosobo memiliki kelompok kesenian yang dominan pada seni pertunjukkan tersebut. Tari Topeng Lengger biasanya dimainkan secara berpasangan, laki-laki dan perempuan. Topeng dikenakan oleh penari laki-laki di akhir pertunjukan.
Selain Tari Topeng Lengger yang dianggap sebagai corak utama kebudayaan di Kabupaten Wonosobo, beberapa seni pertunjukan lainnya pun ikut menyumbangkan keragaman budaya, seperti Kuda Lumping, Ndolalak, Rodad, Emblek, Dhaeng, Angguk, Bangilun, maupun tarian komtemporer lainnya. Di sisi lain, keragaman obyek yang termasuk dalam kategori kecagar budayaan juga tidak kalah beragam dan merupakan sumber pengetahuan tradisional di Kabupaten Wonosobo yang masih eksis setidaknya selama 50 tahun lebih.
Melihat seni pertunjukan yang ada di Kabupaten Wonosobo, ada hasil akulturasi budaya yang terjadi di dalamnya, di antaranya perpaduan budaya Jawa dengan budaya Eropa serta dipengaruhi unsur keagamaan, dalam bentuk Tari Ndolalak dan Rodad. Pada tarian tersebut terdapat gerakan bernuansa kemiliteran dan diiringi tembang atau kidung dengan menyisipkan beberapa bahasa Belanda di antara frasa Bahasa Jawa. Sementara itu, hasil akulturas senii perpaduan budaya Jawa dengan budaya Tionghoa, serta terdapat unsur keagamanaa, terlihat dalam bentuk gerakan Tari Topeng Lengger. Variasi pada kesenian Topeng Lengger adalah adanya figur barongan, mirip dengan kesenian Barongsai yang berasal dari Tionghoa.
Tari Lengger adalah salah tarian rakyat yang cukup dikenal di Jawa Tengah memiliki berbagai varian sebutan, seperti Ronggeng, Tledek, dan Tayub. Menurut beberapa tokoh budayawan, Tari Lengger berasal dari kata "Elinga ngger" yang artinya "Ingatlah nak". Lengger memiliki petuah atau nasehat agar manusia selalu ingat pada Tuhan Yang Maha Esa dan berbuat baik kepada sesama manusia. Sebelum Lengger berkembang, tarian hiburan yang disenangi oleh masyarakat adalah Tayub atau Ledek. Disaat masyarakat sedang mengadakan pagelaran Tayub atau Ledek, Sunan Kalijaga hadir pula di tengah-tengah para penonton. Apabila sudah tiba saatnya untuk sholat, baik itu sholat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya', maupun Subuh, Sunan Kalijaga selalu mengingatkan dengan kata, “Elinga ngger iki wis wayahe padha shalat, age padha shalat dhisik”, (Ingatlah nak saatnya sholat, mari kita sholat dulu). Dengan kata "elinga ngger", maka timbul kata "Lengger".
Sebelum menjadi hiburan, Lengger dipentaskan dalam ritual keagamaan, yang penarinya adalah laki-laki. Mengingat perempuan selalu mendapat haid, sementara untuk ritual keagamaan orang yang melakukan ritual tersebut haruslah suci. Jadi, para penarinya dipilih laki-laki. Namun, dalam perkembangannya para penari Lengger yang semula dimainkan oleh laki-laki diganti dan disertakan penari perempuan sebagai daya tarik, karena ditakutkan jika penarinya hanya didominasi laki-laki Tari Lengger tidak ada yang menonton. Di Kabupaten Wonosobo, Tari Lengger memang dibangkitkan kembali di Dusun Giyanti, Desa Kadipaten, Kecamatan Selomerto oleh seniman tari lokal, yaitu Bapak Gondo Winangun pada tahun 1910. Kemudian pada tahun 1960-an tarian ini dikembangkan oleh Alm. Ki Hadi Soewarno yang kemudian menjadi tarian khas di hampir seluruh desa yang ada di Kabupaten Wonosobo. Tari Lengger biasa ditampilkan ketika ada pesta rakyat, peringatan hari-hari besar Nasional, merti desa atau hanya untuk hiburan biasa. Waktu pentas kesenian Lengger dimulai dari pukul 20.00 sampai 24.00 WIB, bahkan tidak jarang yang dimainkan sampai dini hari. Sebelum pentas Tari Lengger diawali dengan sajian karawitan Gendhing Patalon sebagai pertanda akan dimulai. Setelah itu dilanjutkan Tembang Babadono, pada saat lagu Tolak Bala untuk menolak semua gangguan, sesepuh kesenian tampil dengan membawa sesaji (kembang kanthil, mawar abang-putih, sambal terasi, keluban tales, singkong bakar, terong, lampu, gelas kembang, timun, bengkoang dan menyan). Setelah sesaji dianggap cukup, kemudian sesepuh tersebut membaca mantera sambil membakar kemenyan. Ini semua dimaksudkan untuk meminta kepada roh Endang (roh wanita pelindung mereka) agar mau turut merasuki para pemain dan melindungi semua pemain selama pentas seni Lengger berlangsung, agar terhindar dari gangguan dan marabahaya.
Adapun pakaian yang digunakan penari Lengger terdiri dari : jarit, kebaya, pakaian ubetan selendang, bulu diatas kepala. Sedangkan rias yang digunakan aleh penari adalah terdiri dari : bedak, eye shadow, pensil alis dan lipstick. Dalam setiap pentasnya setelah penari memainkan tariannya beberapa saat, seringkali muncul penari pria. Penari pria tersebut muncul sebagai pasangan dari penari perempuan, yang seringkali menandakan klimaks pentas Lengger tersebut. Penari pria biasanya berrmain hingga kesurupan, kemasukan roh, dan bahkan memakan beling atau kaca. Hal semacam inilah yang biasanya menjadi daya tarik para penonton untuk menyaksikan pentas Lengger. Ada hal menarik yang seringkali luput dari pengamatan penonton, yaitu pada saat moment trans atau kesurupan, ada beberapa gerakan dan perilaku tidak sewajarnya dilakukan manusia.
Variasi pada kesenian Lengger adalah adanya barongan, mirip dengan kesenian Barongsai yang berasal dari Tionghoa. Sehari sebelum tampil biasanya alat yang akan di gunakan dimagiskan atau dilakukan ritual terlebih dahulu, agar pelaku seni yang memakainya dapat kesurupan. Tetapi ada juga yang tidak menggunakan ritual, tanpa mengurangi keindahan dan estetika Tari Lengger tersebut. Cerita rakyat yang berkembang di Kabupaten Wonosobo menyebutkan, bahwa wilayah Kabupaten Wonosobo yang sekarang merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Di era keruntuhan kerajaan besar tersebut, diceritakan tentang seorang tokoh keturunan Prabu Brawijaya bernama Ki Ageng Wanusaba yang sedang menyebarkan ajaran Islam sampai ke sebuah wilayah, yang untuk seterusnya wilayah tersebut bernama Wonosobo. Berganti era, menurut cerita rakyat setempat berdirinya Kabupaten Wonosobo tidak terlepas dari kisah heroik Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya dalam berjuang melawan penjajah. Ada beberapa titik wilayah di Wonosobo yang dijadikan markas Pangeran Diponegoro dan pengikutnya. Sampai pada akhirnya, Pemerintah Kabupaten Wonosobo bekerjasama dengan tim peneliti dari Universitas Gajah Mada melakukan sebuah kajian yang menghasilkan, bahwa Hari Jadi Kabupaten Wonosobo ditetapkan pada tanggal 24 Juli 1825, dengan sengkalan "Pusakaning Dwi Pujangga Nyawiji‟.
Sejauh ini, Peraturan Daerah terkait kebudayaan di Kabupaten Wonosobo adalah Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2018, tentang Pelindungan Cagar Budaya. Ragam, kekayaan, dan problematika tentang Cagar Budaya di Kabupaten Wonosobo dari era atau masa yang berbeda menjadi dasar ditetapkannya Peraturan Daerah tersebut. Melalui Keputusan Bupati Wonosobo nomor 430/391/2022 juga telah diangkat Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) yang berjumlah 5 (lima) orang. Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) terpilih berasal dari unsur masyarakat non PNS dengan multi-disiplin ilmu, yaitu Ilmu Sejarah, Ilmu Geografi, Perpustakaan dan Kearsipan, Arkeologi, dan Teknologi Informatika (IT). Dalam urusan kesenian, terdapat Surat Pengesahan Kelompok Seni, Kartu Tanda Anggota (KTA) Seniman, dan Surat Penilaian Seni yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo. Surat Pengesahan Kelompok Seni berlaku selama 5 (lima) tahun. Kartu Tanda Anggota (KTA) Seniman berlaku selama yang bersangkutan menjadi anggota kelompok seni tertentu. Sementara itu, Surat Penilaian Seni diberikan kepada kelompok kesenian yang akan melaksanakan pertunjukan seni di wilayah tertentu, dan berlaku hanya sekali pementasan.
Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo. (2023). “Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) Kabupaten Wonosobo Hasil Pemutakhiran Data Tahun 2022”. Wonosobo: Pemerintah Kabupaten Wonosobo.